Sabtu, 19 Desember 2015

AKHLAK TASAWUF "Maqamat dan Ahwal"




A.  PENGERTIAN AL MAQAMAT DAN AL AHWAL
1)      Pengertian Maqamat
Maqomat adalah kata jamak dari maqam, yang diartikan sebagai jalan spiritual yang harus dilalui para sufi dalam mencapai tujuan luhurnya, melalui proses pensucian jiwa terhadap kecenderungan materi Secara harfiah Maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.
 Dalam bahasa inggris Maqamat dikenal dengan istilah stages yang artinya tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui Riyadhah, Ibadah, maupun mujahadah.

2)      Pengertian Ahwal
Secara Bahasa Al Ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan atau sesuatu (keadaan rohani), menurut syekh Abu Nash As-sarraj adalah sesuatu yang terjadi yang mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak bertahan lama.
 Menurut harun nasution, dalam Bukunya abuddin Nata Akhlak Tasawuf. Hal atau akhwal merupakan keadaan mental perasaan senang, perasaan takut, perasaan sedih, dan sebagainya.
 Sedangkan Menurut imam al Ghozali dalam Bukunya Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya. menerangkan bahwa, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugrahkan Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Pada Istilah Maqam atau arti jamak adalah maqomat sebagaimana juga ahwal, yang dipahami berbeda menurut para sufi. Namun semuanya sepakat dalam memahami maqamat yang berarti kedudukan seorang pejalan spiritual atau sufi di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah kepadaNya, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), serta latihan-latihan keruhanian budi-pekerti (adab) yang dapat membuatnya memiliki syarat - syarat dalam melakukan usaha - usaha untuk menjalankan berbagai kewajiban dengan baik dan mendekati sempurna.
Sedangkan hal atau arti jamak adalah ahwal adalah suasana atau keadaan yang menyelimuti kalbu, yang diciptakan sebagai hak prerogatif pada Allah dalam hati setiap hambanNya, tidak ada sufi yang mampu merubah keadaan tersebut apabila datang saatnya, atau memperhatikannya apabila pergi.
Meskipun pengertian dari Maqamat dan Ahwal ini pada dasarnya merupakan suatu kesepakatan atau persetujuan para kaum sufi, Mereka tentu saja adalah hasil ijtihad dan juga bukan dari bagian kepastian-kepastian dalam aturan Islam qath’iyyat. Karena hal itu, bukan hanya merupakan pengertian yang tidak dijumpai di kalangan di luar materi tasawuf, bahkan para sufi masing – masing berbeda-beda dalam perinciannya.
Intinya adalah, macam-macam pengertian ini diperkenalkan dengan maksud sebagai bagian dari pentingnya disiplin dalam tasawuf, yang tujuan perjalanan spiritual baik itu pemahaman tentang Allah, keridhaanNya, Cinta-Nya dapat dicapai dengan demikian, kesimpulan yang ditarik oleh para sufi berdasarkan pemahaman mereka tentang konsep-konsep yang menyusun urut-urutan dan macam-macam maqamat dan ahwal dan atau berdasarkan pengalaman yang mereka jalani sendiri ketika menempuh jalan spiritual. Dengan demikian, tidak semua pejalan spiritual harus mengikuti, menjalani, atau mengalami maqamat dan ahwal persis sebagaimana disebutkan oleh para sufi itu untuk dapat mencapai tujuan perjalanan spiritual. Yang pasti, dibutuhkan kualifikasi-kualifikasi spiritual yang terkait dengan keadaan hati dan ketinggian akhlak untuk meraih hal itu. Dan semuanya itu diyakini dibutuhkan upaya keras dan bersungguh-sungguh dalam melawan hawanafsu mujahadah serta latihan-latihan keruhanian riyadhah

B.  MAQAMAT DAN AHWAL DALAM TASAWUF
1)      Macam-Macam Maqamat
Tentang beberapa jumlah tangga (maqamat) yang harus ditempuh, para sufi sama pendapatnya, sebagaimana pendapat Muhammad al Kalabazy, yang dikutib harun Nasution dalam bukunya Abuddin Nata, mengatakan bahwa jumlah maqamat itu ada 10 yaitu, al taubah, al zuhud, al shabr, al faqr, al tawadlu’, al taqwa, al tawakal, al ridla, al mahabba dan al ma’rifah. sedangkan menurut Imam al Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, yang dikutib oleh Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya, maqamat terdiri atas 8 tingkatan yaitu: taubat, sabar, zuhud, tawakal, mahabbah, ridha, dan ma’rifat. Menurut menurut As-Sarraj ath-Thusi, maqomah terdiri dari tujuh tingkatan, Yaitu Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Sabar, Ridha Dan Tawaka.Penjelasan semua tingkatan itu sebagaimana berikut:
(1)   Taubat
Taubat dalam bahasa arab yang berarti “kembali” atau “kembali”, sedangkan taubat bagi kalangan sufi memohon ampunan atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sunguh-sunguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Taubat merupakan proses awal perjalanan spiritual seorang sufi yang harus dilalui dengan berhasil. Dalam proses ini seorang sufi mengosongkan dan membersihkan perilaku, tindakan , perbuatan dan lain-lain yang cenderung mendorong seorang sufi kepada sifat, sikap rendah dan maksiat.
 Berkaitan dengan maqam taubat, dalam al qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini. Yaitu firman Allah (Q.S. Ali Imran, 3:135) dan (Q.S An nur, 24:31)
وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ ١٣٥
135. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui
وَقُل لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣١
31. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung

Dengan taubat, jiwa seseorang akan kembali pada fitrohnya lagi. Seseorang menjadi tidakm mudah luntur dalam godaan rendah, tidak terhanyut pada pesona duniawi dan bebas ,dari segala sesuatu yang dapat menghalangi perjalanannya menemukan diri fitri-nya. 

(2)   Wara’
Secara harfiah al wara’ artinya soleh, kata wara’ mengadung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Pada dasarnya berarti mengendalikan diri.
Dalam pengertian sufi wal wara’ adalah meninggalkan yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (Syubhat). Ini sejalan dengan (H.R. Bukhori)
 “barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah bebas dari yang haram”.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡمُدَّثِّرُ ١  قُمۡ فَأَنذِرۡ ٢  وَرَبَّكَ فَكَبِّرۡ ٣  وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ ٤  وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ ٥

Artinya:
(1)   Hai orang yang berkemul (berselimut), (2) bangunlah, lalu berilah peringatan. (3) dan Tuhanmu agungkanlah (4) dan pakaianmu bersihkanlah (5) dan perbuatan dosa tinggalkanlah.” (Q.S. Al-Mudatsir Ayat 1-5)

(3)    Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia.
Kehidupan yang sederhana yang di comtohkan Rosulullah, Khulafaur Rosidin maupun para sahabat lainya terutama ashabussuffah dengan kondisi merka serba kekurangan tetap mampu menjaga kehormatan dengan tidak meminta, sehingga Allah mengutuk hati kaum muslimin untuk memberikan kepada mereka nafkah. Dapat disimpulkan zuhud merupakan sikap bagaimana para sufi menyikapi kehidupan dunia ini. Allah swt telah menghimbau umat manusia untuk bersikap zuhud berkenaan dengan pemerolehan kekayaan, malalui firman-Nya:
قُلۡ مَتَٰعُ ٱلدُّنۡيَا قَلِيلٞ وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ ....
“Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa” (Q.S. An-Nisa:77)

 (4)   Faqr
Faqr dapat berarti sebagian kekurangan harta dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap faqr penting dimiliki oleh orang yang berjalan di jalan Allah,karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia lebih dekat pada kejahatan, dan sekurang-kurangnya membuat jiwa tertambat pada selain Allah. Faqr adalah orang yang tidak butuh dunia hanya mementingkan akhirat. Secara harfiah Faqr biasa diartikan sebagai orang yang tidak butuh dunia. Allah swt. berfirman:
لِلۡفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ لَا يَسۡ‍َٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ ٢٧٣
“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui (Q.S. Al-Baqarah:273)

 (5)   Al Ridha
Secara harfiah ridho, suka. Harun nasusution mengatakan ridho, tidak menentang kada dan kadar Allah. Manusia biasanya suka menerima keadaan yang menimpa seperti miskin, kerugian, dan  kehilangan. Disini maqomat dalam sikap ridho melatih diri kita untuk menerima keadaan kita. Bagaimanapun itu. Sebagimana hadits qudsi, nabi menegaskan. “sungguh aku ini Allah. Tiada tuhan selain Aku. Barang siapa yang tidak sabar atas coba’an-Ku, tidak berssyukur atas nikmat-Ku Serta tidak rela atas keputusan-Ku maka ia keluar dari kolong langit dan cari tuhan selain aku. Allah berfirman:
 ... رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ ...
“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya”. (Q.S. A-Baqarah:8)

 (6)   Sabar
Dalam kalangan sufi sabar diartikan sebagai sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dan menjauhi segala larangan Allah, dan menerima segala cobaan yang ditimpanya, dsb.
Sebagaiman dalam firman Allah (Q.S. Al Nahl, 16:127), dan (Q.S. al-Ahqof, 46:35) yang berbunyi:
وَٱصۡبِرۡ وَمَا صَبۡرُكَ إِلَّا بِٱللَّهِۚ وَلَا تَحۡزَنۡ عَلَيۡهِمۡ وَلَا تَكُ فِي ضَيۡقٖ مِّمَّا يَمۡكُرُونَ ١٢٧
127. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan
فَٱصۡبِرۡ كَمَا صَبَرَ أُوْلُواْ ٱلۡعَزۡمِ مِنَ ٱلرُّسُلِ وَلَا تَسۡتَعۡجِل لَّهُمۡۚ كَأَنَّهُمۡ يَوۡمَ يَرَوۡنَ مَا يُوعَدُونَ لَمۡ يَلۡبَثُوٓاْ إِلَّا سَاعَةٗ مِّن نَّهَارِۢۚ بَلَٰغٞۚ فَهَلۡ يُهۡلَكُ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٣٥
35. “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik”

(7)   Tawakal
Al-Qusyairi mengatakan bahwa tawakal tempatnya dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu. Pengertian yang demikian itu sejalan pula dengan pengertian Harun Nasution, ia mengatakan tawakal adalah menyerahkan kepada ketetapan tuhan, selamanya dalam keadaan tentram. Jika dapat pemberian berterima kasih, bila mendapat apa-apa bersikap bersabar  dan menyerahkan kepada qodho dan qhodar-NYA Allah.
وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا ٣
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu (Q.S.At-Thalaq:3).
2)      Ahwal dalam Tasawuf
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi diatas, maka ahwal tidak ada perbedaan, yang pada intinya ahwal adalah keadaan rohani seseorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Ahwal berbeda dengan maqam, ahwal tidak menentu datangya, terkadang datang dan pergi begitu cepat, yang disebut lawaih dan ada pula datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebutbawadih, jika maqam di proleh melalui usaha, sedangkan ahwal diperoleh tidak melalui usaha, akan tetapi rahmat dan anugrah dari Allah. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer.
Dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat dikalangan kaum sufi. Adapun akhwal yang paling banyak disepakati adalah; al-muroqobah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’minah, al musyahadah dan al yaqin.

(1)   Al-Muroqobah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari. Allah swt berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 52 yang berbunyi:
لَّا يَحِلُّ لَكَ ٱلنِّسَآءُ مِنۢ بَعۡدُ وَلَآ أَن تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَكَ حُسۡنُهُنَّ إِلَّا مَا مَلَكَتۡ يَمِينُكَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ رَّقِيبٗا ٥٢
“ Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu”

(2)   Al-khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang. Allah berfirman dalam surat as-Sajdah:16 yang berbunyi:
تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمۡ عَنِ ٱلۡمَضَاجِعِ يَدۡعُونَ رَبَّهُمۡ خَوۡفٗا وَطَمَعٗا وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ١٦
.” Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa apa rezeki yang Kami berikan”
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
1.       Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
2.       Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
3.       Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.

(3)   Ar-Raja’
Menurut kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu peresaan senang hati menaati sesuatu yang diinginkan dan disenangi.
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapan benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:
a. Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut bila harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak di barengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang berharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi dengan rasa tahut akan siksaan Tuhan. Allah swt berfirman:
مَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ ٱللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ لَأٓتٖۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ٥
“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Ankabut:5)

(4)   ath-thuma’minah
Thuma’minah adalah rasa tenang, tidak was-was atau khawatir. Seseorang yang telahmencapai thuma’minah, ia telah kuat akalnya, kuat imanya dan ilmunya serta bersih ingatanya. Thuma’minah dibagi menajadi tiga tingkatan. Pertama, ketenagan bagi kaum awan. Kedua ketenangan bagi orang yang khusus. Ketiga ketenangan bagi orang-orang yang paling khsuus.

(5)   Al Uns
Dalam pandangan sufi Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi, dalam keadaan sperti ini sufi merasa tidak ada yang dirasakan, tidak ada yang di ingat, kecuali Allah.
Seseorang yang merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, hamba yang suka merasakan suka cita berzikir menginggat Allah dan merasakan gelisa disaat lalai. Kedua seorang hamba yang senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan hati, dsb. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak melihat lagi suka cita karena adanya wibawa kedekatan kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.

 (6)   al musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Seorang sufi bila sudah mencapai musyahadah apabila sudah bisa merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa yang telah terjadi, segalanya tercurah pada yang satu yaitu Allah. Dalam keadaan seperti itu seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi seakan akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbul rasa cinta kasih.

(7) al yaqin
Al-yaqin mengandung tiga macam unsur yaqin, yaitu ilm al-yaqin, ‘ain al-yaqin dan haqq al- yaqin. Ilm al-yaqin adalah sesuatu yang dianggap ada setelah ada pembuktian. ‘ain al-yaqin adalah sesuatu yang ada setelah dapat dijelaskan. Sedagkan haqq al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang sudah sesuai dengan kenyataannya. Secara umum al-yaqin dapat dijelaskan sebagai keyakinan yang kuat terhadap suatu kbenaran, berdasarkan kesaksian dari realitas seluruh aspek yang ada. Allah swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 4 yang berbunyi:
وَٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ وَبِٱلۡأٓخِرَةِ هُمۡ يُوقِنُونَ ٤
“dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”

(8) Mahabbah
Mahabbah atau cinta adalah suatu perasaan agung dimana orang yang mencinta memberikan seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicinta. Mahabbah mengandung makna keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada apa yang dicintainya, dan selalu memikirkan yang dicinta. Bahkan, rela mengorbankan apapun yang ia miliki demi yang dicinta.
Dalam tradisi sufi, mahhabah dianggap demikian tinggi nilainya dalam pencapaian sufi. Al-Junaid menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih,hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatak pada sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri. Semua itu dilakukan dengan tidak sedikitpun perasaan berat atau tertekan, melainkan semata-mata hanya kesenangan. Dalam firman Allah swt yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِي ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ يُحِبُّهُمۡ وَيُحِبُّونَهُۥٓ ...
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya” (al-Maidah:54)

(9) Syauq
Syauq adalah rindu. Rindu adalah kondisi suatu perasaan dimana seseorang atau individu selalu ingin bertemu dengan yang dirindukan atu yang dicintai.seorang hamba yang dilanda kerinduan kepada Allah swt, selalu ingin terus berdekatan dengannya. Kerinduan juga berarti penumpahan segala energi yang terbaik kepada titik tertentu yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki, sehingga tak akan tergoyahkan oleh segala godaan dan kecenderungan yang akan menjauhkannya dari kebenaran itu, yaitu kebenaran illahi rabbi. Sehingga segala pikiran, sikap dan perilakunya hanya akan tertuju pada kebenaran itu. Allah berfirman:
مَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ ٱللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ لَأٓتٖۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ٥
“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (al-Ankabut:5)



DAFTAR PUSTAKA
Naisabury, Imam Al Qusyairy An. 2014. Risalah Qusyairiyah: Induk Ilmu Tasawuf. Surabaya: Risalah Gusti.
Tohir, Munir Nahrowi. 2012. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf: Meniti Jalan Menuju Tuhan. Jakarta: PT. As-Salam Sejahtera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar