A. PENGERTIAN
AL MAQAMAT DAN AL AHWAL
1) Pengertian
Maqamat
Maqomat adalah
kata jamak dari maqam, yang diartikan sebagai jalan spiritual yang harus
dilalui para sufi dalam mencapai tujuan luhurnya, melalui proses pensucian jiwa
terhadap kecenderungan materi Secara harfiah Maqamat berasal dari bahasa Arab
yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya
digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang
sufi untuk berada dekat kepada Allah.
Dalam bahasa inggris Maqamat dikenal dengan
istilah stages yang artinya tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf
maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang
telah diusahakan, baik melalui Riyadhah,
Ibadah, maupun mujahadah.
2) Pengertian
Ahwal
Secara
Bahasa Al Ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang
berarti keadaan atau sesuatu (keadaan rohani), menurut syekh Abu Nash As-sarraj
adalah sesuatu yang terjadi yang mendadak yang bertempat pada hati nurani dan
tidak bertahan lama.
Menurut harun nasution, dalam Bukunya abuddin
Nata Akhlak Tasawuf. Hal atau akhwal merupakan keadaan mental perasaan
senang, perasaan takut, perasaan sedih, dan sebagainya.
Sedangkan Menurut imam al Ghozali dalam
Bukunya Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya. menerangkan
bahwa, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugrahkan Allah
kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang
mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
Pada
Istilah Maqam atau arti jamak adalah maqomat sebagaimana
juga ahwal, yang dipahami berbeda menurut para sufi. Namun semuanya
sepakat dalam memahami maqamat yang berarti kedudukan seorang pejalan
spiritual atau sufi di hadapan Allah yang diperoleh melalui kerja keras dalam
beribadah kepadaNya, bersungguh-sungguh melawan hawa
nafsu (mujahadah), serta latihan-latihan keruhanian budi-pekerti
(adab) yang dapat membuatnya memiliki syarat - syarat dalam melakukan usaha -
usaha untuk menjalankan berbagai kewajiban dengan baik dan mendekati sempurna.
Sedangkan hal
atau arti jamak adalah ahwal adalah suasana atau keadaan yang
menyelimuti kalbu, yang diciptakan sebagai hak prerogatif pada Allah dalam hati
setiap hambanNya, tidak ada sufi yang mampu merubah keadaan tersebut apabila
datang saatnya, atau memperhatikannya apabila pergi.
Meskipun
pengertian dari Maqamat dan Ahwal ini pada dasarnya merupakan suatu kesepakatan
atau persetujuan para kaum sufi, Mereka tentu saja adalah
hasil ijtihad dan juga bukan dari bagian kepastian-kepastian dalam
aturan Islam qath’iyyat. Karena hal itu, bukan hanya merupakan
pengertian yang tidak dijumpai di kalangan di luar materi tasawuf, bahkan para
sufi masing – masing berbeda-beda dalam perinciannya.
Intinya adalah,
macam-macam pengertian ini diperkenalkan dengan maksud sebagai bagian dari
pentingnya disiplin dalam tasawuf, yang tujuan perjalanan spiritual
baik itu pemahaman tentang Allah, keridhaanNya, Cinta-Nya dapat dicapai dengan
demikian, kesimpulan yang ditarik oleh para sufi berdasarkan pemahaman mereka
tentang konsep-konsep yang menyusun urut-urutan dan
macam-macam maqamat dan ahwal dan atau berdasarkan
pengalaman yang mereka jalani sendiri ketika menempuh jalan spiritual. Dengan
demikian, tidak semua pejalan spiritual harus mengikuti, menjalani, atau
mengalami maqamat dan ahwal persis sebagaimana disebutkan
oleh para sufi itu untuk dapat mencapai tujuan perjalanan spiritual. Yang
pasti, dibutuhkan kualifikasi-kualifikasi spiritual yang terkait dengan keadaan
hati dan ketinggian akhlak untuk meraih hal itu. Dan semuanya itu diyakini
dibutuhkan upaya keras dan bersungguh-sungguh dalam melawan
hawanafsu mujahadah serta latihan-latihan keruhanian riyadhah
B. MAQAMAT
DAN AHWAL DALAM TASAWUF
1) Macam-Macam
Maqamat
Tentang beberapa
jumlah tangga (maqamat) yang harus ditempuh, para sufi sama pendapatnya,
sebagaimana pendapat Muhammad al Kalabazy, yang dikutib harun Nasution dalam
bukunya Abuddin Nata, mengatakan bahwa jumlah maqamat itu ada 10 yaitu, al
taubah, al zuhud, al shabr, al faqr, al tawadlu’, al taqwa, al tawakal, al
ridla, al mahabba dan al ma’rifah. sedangkan menurut Imam al Ghozali dalam
kitab Ihya’ Ulumuddin, yang dikutib oleh Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel
Surabaya, maqamat terdiri atas 8 tingkatan yaitu: taubat, sabar, zuhud,
tawakal, mahabbah, ridha, dan ma’rifat. Menurut menurut As-Sarraj
ath-Thusi, maqomah terdiri dari tujuh tingkatan, Yaitu Taubat, Wara’,
Zuhud, Faqr, Sabar, Ridha Dan Tawaka.Penjelasan semua tingkatan itu sebagaimana
berikut:
(1) Taubat
Taubat dalam
bahasa arab yang berarti “kembali” atau “kembali”, sedangkan taubat bagi
kalangan sufi memohon ampunan atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan
dan berjanji dengan sunguh-sunguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa
tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.
Taubat merupakan
proses awal perjalanan spiritual seorang sufi yang harus dilalui dengan
berhasil. Dalam proses ini seorang sufi mengosongkan dan membersihkan perilaku,
tindakan , perbuatan dan lain-lain yang cenderung mendorong seorang sufi kepada
sifat, sikap rendah dan maksiat.
Berkaitan dengan maqam taubat, dalam al qur’an
terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini. Yaitu firman Allah (Q.S. Ali
Imran, 3:135) dan (Q.S An nur, 24:31)
وَٱلَّذِينَ إِذَا فَعَلُواْ
فَٰحِشَةً أَوۡ ظَلَمُوٓاْ أَنفُسَهُمۡ ذَكَرُواْ ٱللَّهَ فَٱسۡتَغۡفَرُواْ لِذُنُوبِهِمۡ
وَمَن يَغۡفِرُ ٱلذُّنُوبَ إِلَّا ٱللَّهُ وَلَمۡ يُصِرُّواْ عَلَىٰ مَا فَعَلُواْ
وَهُمۡ يَعۡلَمُونَ ١٣٥
135.” Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap
dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada
Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka
mengetahui”
وَقُل
لِّلۡمُؤۡمِنَٰتِ يَغۡضُضۡنَ مِنۡ أَبۡصَٰرِهِنَّ وَيَحۡفَظۡنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنۡهَاۖ وَلۡيَضۡرِبۡنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ
جُيُوبِهِنَّۖ وَلَا يُبۡدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوۡ ءَابَآئِهِنَّ
أَوۡ ءَابَآءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآئِهِنَّ أَوۡ أَبۡنَآءِ بُعُولَتِهِنَّ
أَوۡ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ إِخۡوَٰنِهِنَّ أَوۡ بَنِيٓ أَخَوَٰتِهِنَّ أَوۡ نِسَآئِهِنَّ
أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُهُنَّ أَوِ ٱلتَّٰبِعِينَ غَيۡرِ أُوْلِي ٱلۡإِرۡبَةِ مِنَ
ٱلرِّجَالِ أَوِ ٱلطِّفۡلِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يَظۡهَرُواْ عَلَىٰ عَوۡرَٰتِ ٱلنِّسَآءِۖ
وَلَا يَضۡرِبۡنَ بِأَرۡجُلِهِنَّ لِيُعۡلَمَ مَا يُخۡفِينَ مِن زِينَتِهِنَّۚ وَتُوبُوٓاْ
إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٣١
31. “Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang
(biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung
kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau
putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan
laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang
belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua
agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu
sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”
Dengan taubat,
jiwa seseorang akan kembali pada fitrohnya lagi. Seseorang menjadi tidakm mudah
luntur dalam godaan rendah, tidak terhanyut pada pesona duniawi dan bebas ,dari
segala sesuatu yang dapat menghalangi perjalanannya menemukan diri fitri-nya.
(2) Wara’
Secara harfiah
al wara’ artinya soleh, kata wara’ mengadung arti menjauhi hal-hal yang tidak
baik. Pada dasarnya berarti mengendalikan diri.
Dalam pengertian
sufi wal wara’ adalah meninggalkan yang didalamnya terdapat keragu-raguan
antara halal dan haram (Syubhat). Ini sejalan dengan (H.R. Bukhori)
“barang siapa yang dirinya terbebas dari
syubhat, maka sesungguhnya ia telah bebas dari yang haram”.
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلۡمُدَّثِّرُ ١ قُمۡ فَأَنذِرۡ ٢ وَرَبَّكَ فَكَبِّرۡ ٣ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرۡ ٤ وَٱلرُّجۡزَ فَٱهۡجُرۡ ٥
Artinya:
(1)
“Hai
orang yang berkemul (berselimut), (2)
bangunlah, lalu berilah peringatan. (3)
dan Tuhanmu agungkanlah (4)
dan pakaianmu bersihkanlah (5)
dan perbuatan dosa tinggalkanlah.” (Q.S.
Al-Mudatsir Ayat 1-5)
(3) Zuhud
Secara harfiah
zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Zuhud
termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan
diri dari pengaruh kehidupan dunia.
Kehidupan yang
sederhana yang di comtohkan Rosulullah, Khulafaur Rosidin maupun para sahabat
lainya terutama ashabussuffah dengan kondisi merka serba kekurangan tetap mampu
menjaga kehormatan dengan tidak meminta, sehingga Allah mengutuk hati kaum
muslimin untuk memberikan kepada mereka nafkah. Dapat disimpulkan zuhud
merupakan sikap bagaimana para sufi menyikapi kehidupan dunia ini. Allah swt telah menghimbau umat manusia untuk bersikap
zuhud berkenaan dengan pemerolehan kekayaan, malalui firman-Nya:
قُلۡ مَتَٰعُ ٱلدُّنۡيَا قَلِيلٞ
وَٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لِّمَنِ ٱتَّقَىٰ ....
“Katakanlah: "Kesenangan di
dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang
bertakwa” (Q.S. An-Nisa:77)
(4) Faqr
Faqr dapat
berarti sebagian kekurangan harta dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap
faqr penting dimiliki oleh orang yang berjalan di jalan Allah,karena kekayaan
atau kebanyakan harta memungkinkan manusia lebih dekat pada kejahatan, dan
sekurang-kurangnya membuat jiwa tertambat pada selain Allah. Faqr adalah
orang yang tidak butuh dunia hanya mementingkan akhirat. Secara harfiah Faqr
biasa diartikan sebagai orang yang tidak butuh dunia. Allah swt. berfirman:
لِلۡفُقَرَآءِ
ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ
يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ
لَا يَسَۡٔلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ
بِهِۦ عَلِيمٌ ٢٧٣
“(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh
jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak
tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu
kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang
secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan
Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui” (Q.S.
Al-Baqarah:273)
(5) Al Ridha
Secara harfiah ridho, suka. Harun
nasusution mengatakan ridho, tidak menentang kada dan kadar Allah. Manusia
biasanya suka menerima keadaan yang menimpa seperti miskin, kerugian, dan kehilangan. Disini maqomat dalam sikap
ridho melatih diri kita untuk menerima keadaan kita. Bagaimanapun itu.
Sebagimana hadits qudsi, nabi menegaskan.
“sungguh aku ini Allah. Tiada tuhan selain Aku. Barang siapa yang tidak sabar
atas coba’an-Ku, tidak berssyukur atas nikmat-Ku Serta tidak rela atas
keputusan-Ku maka ia keluar dari kolong langit dan cari tuhan selain aku. Allah berfirman:
... رَّضِيَ
ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُۚ ...
“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya”. (Q.S. A-Baqarah:8)
(6) Sabar
Dalam
kalangan sufi sabar diartikan sebagai sabar dalam menjalankan perintah-perintah
Allah, dan menjauhi segala larangan Allah, dan menerima segala cobaan yang
ditimpanya, dsb.
Sebagaiman dalam firman Allah (Q.S.
Al Nahl, 16:127), dan (Q.S. al-Ahqof, 46:35) yang berbunyi:
وَٱصۡبِرۡ
وَمَا صَبۡرُكَ إِلَّا بِٱللَّهِۚ وَلَا تَحۡزَنۡ عَلَيۡهِمۡ وَلَا تَكُ فِي ضَيۡقٖ
مِّمَّا يَمۡكُرُونَ ١٢٧
127. “Bersabarlah
(hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah
dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu
bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan”
فَٱصۡبِرۡ
كَمَا صَبَرَ أُوْلُواْ ٱلۡعَزۡمِ مِنَ ٱلرُّسُلِ وَلَا تَسۡتَعۡجِل لَّهُمۡۚ كَأَنَّهُمۡ
يَوۡمَ يَرَوۡنَ مَا يُوعَدُونَ لَمۡ يَلۡبَثُوٓاْ إِلَّا سَاعَةٗ مِّن نَّهَارِۢۚ
بَلَٰغٞۚ فَهَلۡ يُهۡلَكُ إِلَّا ٱلۡقَوۡمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ٣٥
35. “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai
keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta
disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan
kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat
pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan
melainkan kaum yang fasik”
(7) Tawakal
Al-Qusyairi
mengatakan bahwa tawakal tempatnya dalam hati, dan timbulnya gerak dalam
perbuatan tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu. Pengertian yang
demikian itu sejalan pula dengan pengertian Harun Nasution, ia mengatakan
tawakal adalah menyerahkan kepada ketetapan tuhan, selamanya dalam keadaan
tentram. Jika dapat pemberian berterima kasih, bila mendapat apa-apa bersikap
bersabar dan menyerahkan kepada qodho dan qhodar-NYA Allah.
وَيَرۡزُقۡهُ مِنۡ حَيۡثُ لَا
يَحۡتَسِبُۚ وَمَن يَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِ فَهُوَ حَسۡبُهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَٰلِغُ
أَمۡرِهِۦۚ قَدۡ جَعَلَ ٱللَّهُ لِكُلِّ شَيۡءٖ قَدۡرٗا ٣
“Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada
disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang
(dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap
sesuatu” (Q.S.At-Thalaq:3).
2) Ahwal
dalam Tasawuf
Jika berpijak
dari beberapa pendapat para sufi diatas, maka ahwal tidak ada perbedaan, yang
pada intinya ahwal adalah keadaan rohani seseorang hamba ketika hatinya telah
bersih dan suci. Ahwal berbeda dengan maqam, ahwal tidak menentu datangya,
terkadang datang dan pergi begitu cepat, yang disebut lawaih dan ada
pula datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebutbawadih, jika maqam
di proleh melalui usaha, sedangkan ahwal diperoleh tidak melalui usaha, akan
tetapi rahmat dan anugrah dari Allah. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal
sifatnya temporer.
Dalam penentuan
hal juga terdapat perbedaan pendapat dikalangan kaum sufi. Adapun akhwal yang
paling banyak disepakati adalah; al-muroqobah, al-khauf, ar-raja’,
ath-thuma’minah, al musyahadah dan al yaqin.
(1) Al-Muroqobah
Muraqabah
artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini
mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi
larangan-Nya.
Sesungguhnya
manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung
nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Kehati-hatian (mawas
diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang
hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin
Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun
di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa
diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di
dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.
Allah swt berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 52 yang berbunyi:
لَّا يَحِلُّ لَكَ ٱلنِّسَآءُ
مِنۢ بَعۡدُ وَلَآ أَن تَبَدَّلَ بِهِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجٖ وَلَوۡ أَعۡجَبَكَ حُسۡنُهُنَّ
إِلَّا مَا مَلَكَتۡ يَمِينُكَۗ وَكَانَ ٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ رَّقِيبٗا ٥٢
“ Tidak halal bagimu mengawini
perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan
isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali
perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha
Mengawasi segala sesuatu”
(2) Al-khauf
Khauf adalah
suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut
Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu
yang tidak disenagi dimasa sekarang.
Allah berfirman dalam surat as-Sajdah:16 yang berbunyi:
تَتَجَافَىٰ جُنُوبُهُمۡ عَنِ
ٱلۡمَضَاجِعِ يَدۡعُونَ رَبَّهُمۡ خَوۡفٗا وَطَمَعٗا وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ
١٦
.” Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu
berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka
menafkahkan apa apa rezeki yang Kami berikan”
Menurut al Ghozali Khauf terdiri
dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
1.
Tingkatan Qashir (pendek),
Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini
seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
2.
Tingkatan Mufrith (yang
berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan
kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal
dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa
beramal.
3.
Tingkatan Mu’tadil
(sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan
mufrith.
(3) Ar-Raja’
Menurut kalangan
kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’
dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu peresaan senang hati menaati
sesuatu yang diinginkan dan disenangi.
Orang yang
harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya
dari kemaksiatan, berarti harapan benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya
angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan,
harapannya sia-sia.
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:
a. Cinta kepada apa yang
diharapkannya.
b. Takut bila harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak
di barengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang
yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk
sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena
takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orang yang berharap rida atau
ampunan Tuhan, diiringi dengan rasa tahut akan siksaan Tuhan. Allah swt berfirman:
مَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ
ٱللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ لَأٓتٖۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ ٥
“Barangsiapa yang mengharap
pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu,
pasti datang. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Ankabut:5)
(4) ath-thuma’minah
Thuma’minah
adalah rasa tenang, tidak was-was atau khawatir. Seseorang yang telahmencapai
thuma’minah, ia telah kuat akalnya, kuat imanya dan ilmunya serta bersih
ingatanya. Thuma’minah
dibagi menajadi tiga tingkatan.
Pertama, ketenagan bagi kaum awan. Kedua ketenangan bagi orang yang khusus.
Ketiga ketenangan bagi orang-orang yang paling khsuus.
(5) Al Uns
Dalam pandangan
sufi Uns adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi, dalam
keadaan sperti ini sufi merasa tidak ada yang dirasakan, tidak ada yang di
ingat, kecuali Allah.
Seseorang yang
merasakan Uns dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, hamba yang suka merasakan
suka cita berzikir menginggat Allah dan merasakan gelisa disaat lalai. Kedua
seorang hamba yang senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan hati, dsb.
Ketiga, yaitu kondisi yang tidak melihat lagi suka cita karena adanya wibawa
kedekatan kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.
(6) al musyahadah
Musyahadah
secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Seorang sufi bila sudah
mencapai musyahadah apabila sudah bisa merasakan bahwa Allah telah hadir atau
Allah telah berada dalam hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa
yang telah terjadi, segalanya tercurah pada yang satu yaitu Allah. Dalam
keadaan seperti itu seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, dimana seorang
sufi seakan akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka
timbul rasa cinta kasih.
(7) al yaqin
Al-yaqin
mengandung tiga macam unsur yaqin, yaitu ilm al-yaqin, ‘ain al-yaqin dan haqq
al- yaqin. Ilm al-yaqin adalah sesuatu yang dianggap ada setelah ada
pembuktian. ‘ain al-yaqin adalah sesuatu yang ada setelah dapat dijelaskan.
Sedagkan haqq al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang sudah
sesuai dengan kenyataannya. Secara umum al-yaqin dapat dijelaskan sebagai
keyakinan yang kuat terhadap suatu kbenaran, berdasarkan kesaksian dari
realitas seluruh aspek yang ada. Allah swt berfirman dalam surat al-Baqarah
ayat 4 yang berbunyi:
وَٱلَّذِينَ يُؤۡمِنُونَ بِمَآ
أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ وَبِٱلۡأٓخِرَةِ هُمۡ يُوقِنُونَ ٤
“dan mereka yang beriman kepada
Kitab (Al Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah
diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat”
(8) Mahabbah
Mahabbah
atau cinta adalah suatu perasaan agung dimana orang yang mencinta memberikan
seluruh keluhuran jiwanya kepada yang dicinta. Mahabbah mengandung makna
keteguhan dan kemantapan sikap untuk konsisten kepada apa yang dicintainya, dan
selalu memikirkan yang dicinta. Bahkan, rela mengorbankan apapun yang ia miliki
demi yang dicinta.
Dalam
tradisi sufi, mahhabah dianggap demikian tinggi nilainya dalam pencapaian sufi.
Al-Junaid menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh
ingatan pada sang kekasih,hingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatak
pada sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri. Semua itu dilakukan
dengan tidak sedikitpun perasaan berat atau tertekan, melainkan semata-mata
hanya kesenangan. Dalam firman Allah swt yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ
مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِي ٱللَّهُ بِقَوۡمٖ يُحِبُّهُمۡ
وَيُحِبُّونَهُۥٓ ...
“Hai orang-orang yang beriman,
barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan
mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun
mencintai-Nya” (al-Maidah:54)
(9) Syauq
Syauq
adalah rindu. Rindu adalah kondisi suatu perasaan dimana seseorang atau
individu selalu ingin bertemu dengan yang dirindukan atu yang dicintai.seorang
hamba yang dilanda kerinduan kepada Allah swt, selalu ingin terus berdekatan
dengannya. Kerinduan juga berarti penumpahan segala energi yang terbaik kepada
titik tertentu yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki, sehingga tak
akan tergoyahkan oleh segala godaan dan kecenderungan yang akan menjauhkannya
dari kebenaran itu, yaitu kebenaran illahi rabbi. Sehingga segala pikiran,
sikap dan perilakunya hanya akan tertuju pada kebenaran itu. Allah berfirman:
مَن
كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ ٱللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ لَأٓتٖۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ
ٱلۡعَلِيمُ ٥
“Barangsiapa yang mengharap pertemuan dengan Allah, maka
sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu, pasti datang. Dan Dialah Yang
Maha mendengar lagi Maha Mengetahui” (al-Ankabut:5)
DAFTAR PUSTAKA
Naisabury, Imam Al Qusyairy An. 2014. Risalah Qusyairiyah: Induk Ilmu Tasawuf.
Surabaya: Risalah Gusti.
Tohir, Munir Nahrowi. 2012. Menjelajahi Eksistensi Tasawuf: Meniti Jalan Menuju Tuhan. Jakarta:
PT. As-Salam Sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar